Lompat ke isi utama

Berita

Ketut Ariyani dalam Srikandi Bicara: Suara yang Tidak Terdengar dari Penyandang Disabilitas pada Pemilu 2024

Ketut Ariyani

angkapan layar saat Narasumber, Ketut Ariyani menyampaikan pandangan pada Episode ke-2 Segmen Srikandi Bicara melalui live Instagram @bawasluRI, Kamis (12/06/2025). 

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Bawaslu Republik Indonesia menggelar "Episode ke-2 Segmen Bawaslu Bicara” membahas lebih dalam Buku Srikandi Mengawasi: Kisah Pengawas Pemilu dalam Mengawasi Pemilu 2024), Kamis (12/06/2025). Pada episode kesatu lalu, Segmen Bawaslu Bicara langsung dipandu oleh Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty yang memperkenalkan seluruh penulis dari Buku Srikandi Mengawasi.

Dalam buku Srikadi Mengawasi, terdapat 38 orang penulis mulai dari Bawaslu tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Pada episode ke-2 ini, akan lebih dalam mengenal tiga penulis beserta tulisannya. Dengan tema meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilu. Ketiga narasumber yang merupakan penulis dari Buku Srikandi Mengawasi, yaitu Maitanur (Panwaslih Provinsi Aceh); Ketut Ariyani (Bawaslu Provinsi Bali); dan Massuryati (Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan). 

Para penulis pada kesempatan kali ini akan menjelaskan lebih detail mengenai pandangannya yang dimuat dalam buku tersebut. Narasumber Ketut Ariyani berasal dari Bawaslu Provinsi Bali. Ia menjelaskan terkait ‘Suara yang Tidak Terdengar Bahkan Tidak Terlihat’. “Penulisan didasari oleh hasil pengawasan yang dilakukan. Ditambah dengan fakta saat tahapan pemungutan dan penghitungan suara itu sedikit sekali penyandang disabilitas yang terdata. Di Bali, sebanyak 15.979 yang terdata dan masih terdapat 2.524 yang tidak terdata sebagai pemilih. Padahal, fakta di lapangan para penyandang disabilitas yang tidak terdata tersebut sudah mempunyai hak pilih. Judul suara yang tidak terdengar dikarenakan mereka memiliki hak pilih dan suara mereka memiliki arti yang sama. Saya merasa penting untuk mengangkatnya”, ujar Ketut.

Tujuan penulisan adalah agar kedepannya dalam pelaksanaan pemilu banyak pemerhati, pegiat, kelompok masyarakat terkait untuk memperhatikan kelompok penyandang disabilitas. Terdapat jenis-jenis dari penyandang disabilitas, yakni disabilitas fisik, disabilitas sensorik, disabilitas intelektual, dan disabilitas mental. “Sebagai pengawas pemilu, bukan hal yang mudah untuk dapat mendata langsung terhadap data-data pemilih yang sudah memiliki hak pilih yang memiliki suara yang sama dengan yang kita berikan begitu juga suara-suara pada penyandang disabilitas. Siapa lagi yang dapat mendengar suara mereka jika bukan kita khususnya kepada penyelenggara pemilu? Apalagi penyelenggara pengawas pemilu perempuan,” jelasnya. 

Ia menambahkan bahwa pengawas pemilu laki-laki pun memiliki kewajiban yang sama. Disamping itu, pihak-pihak lainnya yang terkait pada pelaksanaan pemilu. “Sebagai pengawas pemilu, bukan hal mudah untuk dapat mendata pemilih-pemilih dengan disabilitas mental, intelektual, fisik, dan sensorik. Pada saat Ketut dan para pengawas lain dari Provinsi Bali berangkat menuju lapangan, tidak banyak yang berani turun untuk mendatangi para disalibitas mental. Alasannya, itu akan beresiko besar juga kepada pengawas apabila para penyandang disabilitas mental tersebut tidak dapat diajak komunikasi dan melakukan pendekatan secara hati. Akibatnya, suara mereka tidak terdata.

“Dengan mereka tidak terdata tentu hak pilih tidak dapat tersampaikan karena tidak terdata dalam daftar pemilih. Hal yang dapat kita semua lakukan adalah mendatangi dan berikan komunikasi yang berbeda dengan penyandang disabilitas tipe lainnya. Harapannya, dari hati itulah kita bersuara agar mereka dapat terdata,” ungkap Ketut.

Ketut menyampaikan untuk mendapat data pemilih oleh pengawas untuk penyandang disabilitas yang sudah disebutkan biasanya berlokasi bukan pada medan yang mudah dijangkau. “Saya menemukan adanya di pelosok-pelosok. Di daerah yang sulit dijangkau oleh kendaraan bahkan hanya dapat dilalui dengan jalan kaki. Contohnya penyandang disabilitas yang dipasung tidak akan keluar dari ruangan yang sudah ditempati. Permasalahannya, sementara kita harus mendata pemilih tersebut. Tentu butuh keberanian yang dipertaruhkan karena jika tidak didata mereka tidak bisa gunakan hak pilih,” katanya.

Ketut menerangkan untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas tersebut merupakan penyandang disabilitas mental, kita harus berkoordinasi dengan pihak terkait seperti dokter yang berada di wilayah tersebut. Hal tersebut mendorong Ketut membuat buku dengan judul ‘Suara yang Tidak Terdengar’. “Setelah berkomunikasi, mereka sampaikan mereka tidak butuh dikasihani. Ada satu kalimat yang keluar mereka sampaikan ‘jangan kasihani saya tapi dengarkan suara saya’

Penulis dan Dokumentasi: Bunga Putri N.