Lompat ke isi utama

Berita

AKSES DAN EKSES BAGI JUSTICIABELEN

Ai Wildani Sriaidah,S.H,SPd.Ind.,M.MPd

Koordinator Penanganangn Pelanggaran Bawaslu Bandung Barat

Bangunan demokrasi mensyaratkan adanya pilar-pilar kebebasan, keadilan, dan pemilu yang berkala (Robert Dahl , 2001 : 132). Di dalam demokrasi harus ada kesetaraan politik. Ada lima belas pra-kondisi pemilu yang bebas dan adil (IDEA 2002, 2004) yaitu : 1) adanya keragka hukum pemilu, 2) sistem pemilu, 3) distrik pemilu atau batas unit pemilu, 4) hak memilih dan dipilih, 5) kelembagaan komisi pemilihan umum, 6) pendaftaran pemilih , 7) akses suara bagi parpol dan kandidat, 8) kampanye pemilu yang demokratis, 9) akses media, keterbukaan publik, dan kebebasan berpendapat, 10) pembiayaan dan dana kampanye, 11) ketersediaan kotak suara, 12) perhitungan suara dan tabulasi, 13) peran keterwakilan parpol dan kandidat, 14) pemantau pemilu, dan 15) kepatuhan dan penegakan hukum pemilu.

Terkait standar hukum yang harus ditegakkan keadilannya itu, Internasional IDEA (2004 : 93-94) memaparkan bahwa kerangka hukum harus menyediakan kesempatan bagi setiap pemilih, kandidat, dan parpol menyampaikan keberatan dan gugatan kepada pihak KPU atau pengadilan yang berwenang atas pelanggaran hak-hak politik kepemiluan yang terjadi. Tetapi Undang-undang pun harus mempersyaratkan waktu tertentu bagi KPU dan pengadilan memberikan keputusan dengan segera, guna menghindari hilangnya hak politik itu. Untuk itu maka setiap pencari keadilan (justiciabelen) atau pihak yang mengajukan keberatan, menyangkal proses dan hasil pemilu itu haruslah diberi akses atas keadilan dan penyelesaian masalah.

 Terkait penegakan hukum pemilu, setidaknya ada tiga hal yang harus mendapat perhatian mendalam. Pertama terkait “perlindungan proses penanganan pelanggaran” dari rintangan, pengaruh buruk, kepentingan jaringan tertentu, penipuan, kecurangan, intimidasi, praktek korup, dan tindakan ilegal lainnya yang berupaya menjegal proses penanganan pelanggaran yang dilakukan. Situasi yang mengancam integritas pemilu itu harus dihilangkan, karena semua pelanggaran harus dikoreksi (Agnieska Dobrzynska, Enforcement of Electoral Integrity, 2006). Hal kedua adalah sebagaimana dikemukan Phil Green dan Louise Olivier (2007) yang menekankan pentingnya “mekanisme menggugat proses dan hasil pemilu” untuk memastikan pemilu itu transparan dan akuntabel sehingga proses dan hasilnya dapat diterima semua pihak secara sah meyakinkan. Mekanisme yang efektif akan menambah kredibiltas. Jika ditemukan adanya kesalahan akibat pelanggaan yang terjadi maka akan dipastikan kesalahan itu diperbaiki saat itu juga. Hal ketiga yang harus diperhatikan adalah “signifikansi dampak pelanggaran terhadap hasil pemilu”. Jika ada kelemahan dari ketentuan sanksi pelanggaran pemilu itu maka akan menjadi pendorong yang memicu partisipan untuk memobilisasi kecurangan dengan cara-cara negatif dan ilegal, karena implikasi sanksi yang tidak signifikan, misalnya tidak mempengaruhi diskualifikasi atas suara/kursi yang diperoleh parpol atau kandidat, akan mengundang ekses bagi pencari keadilan.

 Beberapa partisipan cenderung mengambil keuntungan dari celah ketiadaan ketentuan hukum. Misalnya membocorkan langkah-langkah investigasi yang akan dilakukan penegak hukum atau Sentra Gakkumdu kepada para pihak, sengaja mangkir dari undangan klarifikasi Sentra Gakkumdu, menahan temuan dan laporan dugaan pelanggaran, menakut-nakuti saksi perkara sehingga Sentra Gakkumdu kehilangan saksi fakta, menghilangkan dokumen atau barng bukti dugaan pelanggaran, mengecoh waktu dan lokus pelanggaran, dan lain-lain. Perilaku yang salah ini menunjukkan kualitas integritas dan merusak demokrasi. Bahkan perilaku salah itu berbuah un-trust. Agar kuat penegakan keadilan pemilu, maka subjek hukum  dan saksi pelanggaran itu harus menjangkau semua orang tanpa kecuali. Bukan hanya berlaku untuk kandidat dan tim resmi yang terdaftar di KPU saja. Melainkan harus bisa menjangkau anggota masyarakat, pemilih, parpol, lembaga penyelenggara, staf-staf kesekretariatannya, aparat pemerintah, staf keamanan, dan setiap orang yang terlibat dalam tindakan pelanggaran. Pro-justitia itu memang harus berkeadilan, berkepastian, dan bermanfaat. Karena justitia est fundamentum regnorum (keadilan adalah dasar dari pemerintahan), dan justitia nemini neganda est (tak seorang pun dapat membantah keadilan).

Tag
Opini
Publikasi