Lompat ke isi utama

Berita

Bawaslu Dorong Pembaruan Regulasi Pemilu melalui Rancangan Perubahan UU

Bagja Forum

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja pada kegiatan FGD Penyelenggara Pemilu: Suara Penyelenggara untuk perbaikan UU Pemilu di Jakarta, Kamis (4/7/2025). Dok: Publikasi dan Pemberitaan Bawaslu RI

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Ketua Bawaslu Republik Indonesia, Rahmat Bagja, menyamapikan saat ini Bawaslu sedang merumuskan rancangan perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu. Usulan ini akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disampaikan kepada publik sebagai bagian dari proses partisipasi publik dan transparansi. 

"Bawaslu saat ini sedang menyusun rancangan perubahan yang nantinya akan diserahkan kepada DPR, sekaligus kami publikasikan untuk kemudian dapat menjadi bahan diskusi bersama," ujar Bagja dalam kegiatan Forum Group Discussion (FGD) bertajuk Penyelenggara Pemilu: Suara Penyelenggara untuk Perbaikan UU Pemilu yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (4/7/2025).

FGD tersebut diinisiasi oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai ruang untuk menjaring masukan dari para penyelenggara pemilu dalam rangka revisi UU Pemilu.

Dalam forum tersebut, Bagja menyampaikan sejumlah poin penting yang menjadi perhatian Bawaslu dalam revisi undang-undang, antara lain terkait penegakan hukum pemilu, kewenangan kelembagaan, penanganan pelanggaran, penyelesaian sengketa hasil pemilu, pengendalian hoaks dan misinformasi, serta penguatan pendekatan terhadap pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) secara kuantitatif maupun kualitatif.

Terkait penegakan hukum pemilu, Bagja menyoroti pentingnya kejelasan kedudukan hukum (legal standing) Bawaslu dalam perkara sengketa proses pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia menegaskan bahwa selama ini status Bawaslu di persidangan kerap tidak jelas, sehingga menghambat efektivitas penanganan sengketa.

Selain itu, ia mengusulkan agar Undang-Undang memberikan batasan dan definisi yang tegas mengenai pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam penanganan pelanggaran TSM. Selama ini, menurut Bagja, Bawaslu menggunakan pendekatan kuantitatif dalam menetapkan pelanggaran TSM, sementara Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan unsur kualitatif. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi aturan dalam perundang-undangan.

Dalam konteks pengawasan media digital, Bagja menekankan pentingnya penguatan regulasi yang memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk merekomendasikan atau memerintahkan penghapusan konten digital yang memuat pelanggaran pemilu atau informasi menyesatkan, seperti kampanye saat masa tenang.

Ia juga mendorong pembentukan unit siber terintegrasi di lingkungan Bawaslu. Unit ini bertugas melakukan deteksi dini terhadap penyebaran hoaks pemilu dan berkoordinasi cepat dengan kementerian terkait seperti Kominfo, serta lembaga penegak hukum seperti Siber Polri dan penyelenggara platform digital.

Lebih lanjut, Bagja mengusulkan agar pengaturan waktu dalam proses penanganan pelanggaran pemilu lebih adaptif terhadap kondisi geografis, khususnya di wilayah kepulauan. Ia mencontohkan bahwa keterlambatan penyampaian surat panggilan kepada saksi atau pihak terlapor berdampak terhadap lambannya proses penyelesaian pelanggaran.

Terakhir, Bagja mendorong agar mekanisme pemeriksaan in absentia yang telah berlaku pada pemilu juga dapat diterapkan dalam pilkada, khususnya dalam menangani pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini disebabkan oleh kecenderungan ASN yang dilaporkan enggan hadir memenuhi panggilan pemeriksaan.

Melalui berbagai usulan ini, Bawaslu berharap revisi UU Pemilu dapat menghasilkan peraturan yang lebih responsif, efektif, dan adaptif terhadap tantangan kepemiluan di masa mendatang.

Sumber: Website Bawaslu RI

Penulis: Bunga Putri N.