“IUS CONSTITUENDUM” PENEGAKAN HUKUM PIDANA PEMILU
|
Lex prospcit, non respicit The law looks forward, not backward
(Hukum melihat ke depan, bukan kebelakang)
Berbicara penegakan hukum tindak pidana Pemilu maka tidak bisa dipisahkan dari teori dasar (grand theory) tentang negara hukum. Di mana arti negara hukum itu pada hakikatnya berakar dari konsep dan teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali. Hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara, yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip “the Rule of Law, And not of Man”, yang sejalan dengan pengertian “nomocratie”, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, “nomos”.
Dalam rangka penanggulangan penegakan hukum tindak pidana Pemilu seyogyanya dihadapkan pada tujuan pidana dan pemidanaan itu sendiri, di mana dalam hukum pidana dikenal adanya asas “ultimum remidium” serta berpegang pada pencegahan terjadinya tindak pidana Pemilu.
Pengaturan Norma Hukum Pidana Pemilu
Pada penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019, setidanya tercatat terdapat 78 norma pidana yang diatur dalam 66 pasal pidana pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pengaturan ini bertambah signifikan jika dibandingkan dengan pasal pidana pada Pemilu Tahun 2004, 2009 dan 2014. Penambahan signifikan ini seakan – akan menggambarkan bahwa persoalan ketaatan hukum dan penegakan hukum pidana Pemilu masih banyak mengalami kekurangan dan solusinya seakan-akan oleh pembentuk undang-undang lebih tepat dengan menambah pengaturan sanksi pidana.
Berkaca pada Pemilu Tahun 2019, terdapat 361 Putusan Pengadilan Negeri dan 158 Putusan Pengadilan Tinggi, yang mana dari putusan tersebut terdiri dari 26 norma pidana yang dilanggar, dengan pasal yang paling banyak dilanggar yakni Pasal 523 dengan jumlah tindak pidana sebanyak 67 tindak pidana, Pasal 521 dengan jumlah 60 tindak pidana, Pasal 532 dengan jumlah 43 tindak pidana, dst. Dari 26 norma pidana yang dapat diterapkan tersebut (33,33% dari jumlah pasal pidana), tidak dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal pidana lainnya tidak efektif atau tidak perlu diatur, karena tentu banyak faktor kenapa hanya 26 pasal tersebut saja yang dapat diterapkan, misalnya karena faktor tidak aplikatifnya pasal lainnya, subjek hukum pidana lebih banyak dikenakan kepada Penyelenggara Pemilu atau juga karena sudah adanya kesadaran hukum dari subjek yang diancam pidana tersebut. Namun demikian bukan berarti bahwa pengaturan 78 norma pidana tersebut merupakan pengaturan yang ideal dan layak untuk dipertahankan?
Pengaturan norma pidana tersebut di atas dipandang perlu dilakukan reformulasi guna mewujudkan penegakan hukum Pemilu yang efektif. Prof Topo Santoso menyatakan bahwa “tindak pidana perlu dievaluasi apa yang perlu dan tidak perlu. Namun bukan berarti tindak pidana yang tidak ada kasusnya menjadi dihilangkan begitu saja, karena ada yang memang penting. Sanksi selain pidana, seperti sanksi administrasi juga tidak kalah berat dengan sanksi pidana”
Muladi salah satu ahli hukum pidana di Indonesia menyatakan bahwa hukum pidana dapat pula disebut dengan mercenary, yang hanya akan digunakan apabila sangat dibutuhkan dan hukum yang lain tidak dapat digunakan. Begitu pula pandangan Eddy O.S. Hiariej, yang menyatakan bahwa pidana merupakan hukum terakhir yang digunakan jika instrument hukum lainnya tidak dapat digunakan atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pandangan para ahli ini dipandang sesuai jika tujuan akhirnya adalah efektifnya pemberian efek jera kepada para pelaku, karena jika mengacu pada 361 putusan pengadilan negeri pada Pemilu 2019, ternyata 186 putusan (51,52%) adalah berupa pidana percobaan, padahal tindak pidana Pemilu yang paling tinggi adalah tindakan “politik uang”, artinya pidana penjara terhadap tindakan “politik uang” tidak memberikan efek jera dan terbukti menjadi tindakan yang masih marak terjadi. Oleh karenanya pendekatan sanksi lain (sanksi administratif) terhadap politk uang dapat dijadikan pilihan, misalnya sanksi pembatalan sebagai Peserta Pemilu/Pasangan Calon dan atau denda jika terjadi politik uang yang dilakukan untuk kepentingan Peserta Pemilu/Pasangan Calon.
Ius Constituendum Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu
Secara sederhana ius constituendum dapat diartikan sebagai hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum menjadi kaidah berbentuk undang-undang atau peraturan lain, dan ia diharapkan sebagai hukum yang berlaku pada masa yang akan datang. Istilah ius constituendum adalah lawan dari ius constitutum yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu atau hukum yang sudah dijadikan kaidah dalam bentuk undang-undang.
Dalam konteks penegakan hukum pidana Pemilu, ius constituendum adalah sebuah cita-cita dan harapan lahirnya konstruksi hukum Pemilu di masa depan demi terciptanya pelaksanaan Pemilu yang berintegritas. Dalam hal ini, Ius constituendum bertolak dari pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019 dengan cara mengurai beberapa kelemahan dan kekuarangan regulasi sehingga menjadi titik tolak pelaksanaan Pemilu 2024 yang berintegritas. Ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) tersebut antara lain:
Pertama, kedepan, rancangan aturan hukum Pemilu sejatinya menempatkan subyek yang dilarang oleh UU Pemilu untuk melakukan money politic adalah “setiap orang”, bukan hanya pada subyek-subyek tertentu. Dengan begitu, larangan melakukan money politic bisa menjangkau siapa saja sepanjang dia benar-benar melakukan money politic selama Pemilu berlangsung. Tidak hanya itu, larangan melakukan money politic oleh setiap orang sebaiknya ditentukan sepanjang masa Pemilu, yaitu sejak KPU menetapkan calon (bila perlu sejak ditetapkannya partai peserta Pemilu) hingga selesainya pemungutan, penghitungan, dan penetapan hasil suara Pemilu. Larangan praktik money politic perlu ditetapkan hingga penetapan hasil suara Pemilu karena tidak menutup kemungkinan oknum peserta Pemilu masih berupaya mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk merubah hasil suara yang semestinya. Artinya, money politic tidak hanya terjadi antara peserta Pemilu dengan pemilih, tetapi juga bisa terjadai antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu.
Dengan cara itu, siapa saja yang membantu mendistribusikan uang di lapangan, orang yang digerakkan, atau pun orang yang menggerakkan, tetap dapat dipidana. Ius constituendum semcam ini sangat penting mengingat praktik-praktik money politic dalam pelaksanaan Pemilu mempunyai dampak yang sangat negatif. Dampak negatif tersebut sebagaimana dituturkan oleh L Sumartini dalam bukunya berjudul Money Politics Dalam Pemilu (2005) dapat merusak sendi-sendi demokrasi.
Kedua, penguatan kewenangan Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi Pemilu. Partisipasi masyarakat dalam hal pengawasan Pemilu sangat dipentingkan. Harus diakui bahwa Bawaslu adalah satu-satunya lembaga pengawas yang memiliki perhatian lebih terhadap aspek-aspek kecurangan di lapangan. Maka, penguatan kewenangan Bawaslu adalah sebuah keniscayaan. Sebaliknya, pengaturan kewenangan Bawaslu yang sangat minim merupakan langkah yang kurang strategis dalam perwujudan sistem pengawasan Pemilu. Konsekuensinya, kinerja dan daya paksa Bawaslu menjadi kurang maksimal. Dalam proses ini, diperlukan koordinasi yang kuat lembaga. Kurangnya koordinasi dengan instansi yang terkait dalam penyelesaian pelanggaran akan menghambat kinerjanya.
Misalnya, mengacu pada Pemilu 2019, ada beberapa rekomendasi Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh penyidik. Akibatnya, temuan-temuan Bawaslu terkait tindak pidana Pemilu menjadi tidak berarti sama sekali. Disinilah diperlukan kesepemahaman antara stakeholder penegak hukum itu sendiri.
Ketiga, pemidanaan dalam konteks peyelenggaraan Pemilu idealnya hanya diterapkan terhadap sejumlah kriteria ancaman yang berdampak pada terganggunya keamanan proses penyelenggaraan Pemilu serta untuk kategori money politic. Sedangkan praktik kecurangan atau pelanggaran administrasi terhadap proses Pemilu akan lebih tepat jika menggunakan ancaman sanksi administratif atau bahkan diskualifikasi dari keikutsertaan Pemilu. Misalnya, ancaman pidana bagi anggota PPS atau KPPS yang tidak melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sebenarnya tidak diperlukan. Masyarakat yang salah memberikan keterangan tentang diri sendiri atau orang lain terkait daftar pengisian Pemilih sebenarnya juga tidak perlu diberi sanksi pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
Buku/Jurnal Hukum
- Jurnal UKI : Maria Amelia Sinaga, Maruarar Siahaan “POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEMILU DEMI MEWUJUDKAN KEADILAN PEMILU” April : 2021
- Jurnal DKPP : Abdul Waid “IUS CONSTITUENDUM” PENEGAKAN HUKUM PIDANA PEMILU (REFLEKSI KRITIS PEMILU 2019 MENUJU PEMILU 2024 YANG BERINTEGRITAS)