KONSEKUENSI PEMILU SERENTAK 2024 : TNI/POLRI AKTIF PENJABAT KEPALA DAERAH
|
Lebih dari 272 kursi pemimpin daerah akan kosong pada rentang tahun 2022-2024. Pemerintah memunculkan wacana opsi untuk menunjuk perwira TNI/POLRI sebagai pejabat sementara. Namun wacana ini memunculkan kontroversi. Ada kekhawatiran situasi akan kembali ke masa Orde Baru. Apa latar belakang hal ini ? sudah tepatkah wacana ini ? Forum Diskusi Salemba 65 yang diselenggarakan ILUNI-UI pada hari selasa tanggal 12 Oktober 2021 dengan tema : “Polemik Wacana Pejabat Kepala Daerah dari TNI/POLRI Aktif ke Depan, Apa Konsekuensinya ?” Menghadirkan narasumber : Ahmad Doli Kurnia Tanjung (Ketua Komisi II DPR RI, Politisi Golkar) , Titi Anggraeni (Dewan Penasihat Perludem), Juri Ardiantoro (Deputi IV KSP), dan M.Jibriel Avessina (Ketua Policy Centre ILUNI-UI). Diawali dengan kata sambutan dari Andre Rahardian (Ketua ILUNI-UI).
Pemilu dan Pemilihan serentak di tahun 2024 adalah amanat Undang-Undang 10 tahun 2016 dan Undang-Undang no.7 tahun 2017. Bahkan di UU no.10 tahun 2016 sudah eksplisit bulan pelaksanaan pemilhan serentak tersebut, yaitu di bulan November 2024. Ahmad Doli Kurnia Tanjung memaparkan bahwa Komisi II DPR RI bermaksud menata satu rezim pemilu saja, tidak ada pemisahan antara rezim pemilu dan rezim pemilihan, dengan satu paket regulasi yang sama. Desain dan konsep pemiu masih sedang dalam proses penentuan. Sementara ini hanya dibedakan antara pemilihan nasional dan pemilihan regional. Menuju keserentakan itu, memang akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah untuk 272 kursi tersedia. Tidak ada halangan regulasi bagi TNI/POLRI/ASN untuk menduduki jabatan tersebut. Dibutuhkan kriteria yang mumpuni untuk pengisian jabatan pejabat itu sebagai leadership, berkemampuan komunikasi yag baik, kapabilitas, memiliki visi yang komprehensif. Biasanya pejabat-pejabat itu didrop oleh pemerintah pusat, atas rekomendasi pemerintah provinsi. Padahal sebenarnya bisa juga menunjuk Sekda sebagai Penjabat. Forum diskusi Salemba 65 ini bisa merekomendasikan teknisnya ke pemerintah pusat. Kekhawatiran adanya dwifungsi ABRI sebagaimana terjadi di masa lalu itu memang bergulir di masyarakat. Kekhawatiran adanya abuse of power.
Titi Anggraeni (Dewan Penasihat Perludem) memaparkan bahwa pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang no.10 tahun 2016. Pada ayat 10 dan 11 ditemukan bahwa pejabat ASN/TNI/POLRI yang dapat ditunjuk sebagai Penjabat Kepala Daerah adalah JPT Pimpinan Madya dan Pratama. Penjabat itu bisa menjabat selama 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun kembali. Paling cepat kepala daerah definif hasil pemilihan serentak 2024 itu baru ada di awal tahun 2025. Dijelaskan lebih rinci pada pasal 19 ayat (1) huruf b dan c UU no.5 tahun 2014 tentang ASN. Pilkada nasional 2024 direncanakan hari Rabu tanggal 27 Noember 2024. Daerah yang AMJ-nya 2022-2024 akan diisi oleh penjabat kepala daerah. Ada 24 gubernur serta 248 bupati dan walikota (101 tahun 2017, 171 di 2018). Selama masa kampanye, petahana harus cuti di luar tanggungan negara (vide pasal 70 ayat (3) UU no.10/2016) sehingga selain Penjabat (Pj), akan diperlukan juga Pelaksana Tugas (Plt). Berdasarkan UU TNI dan UU Kepolisian, terdapat beberapa pasal yang relean dengan hal ini. Antara lain Pasal 47 ayat (1) UU no34 tahun 2004 (harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif), Penjelasan pasal 47 ayat (2) UU no.34 tahun 2004, Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU no.2 tahun 2002.
Pemerintah harus menghindari kontroversi dan spekulasi di tengah kerumitan dan komplesitas Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, agar energi tidak habis untuk hal-hal yang tidak perlu. Pengisian jabatan penjabat kepala daerah dan pelaksana tugas kepala daerah bagi perwira aktif TNI/POLRI adalah kotak pandora yang amat menggoda. Contoh : penunjukan perwira POLRI aktif sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat. Perludem memandang akan lebih baik dan kondusif jika penjabat itu langsung serta merta oleh Sekda di masing-masing wilayah.
M.Jibriel Avessina memaparkan hambatan dan tantangan pengisian jabatan penjabat dan pelaksana tugas dari unsur perwira aktif TNI/POLRI adalah legitimasi yang harus dipertahankan seiring dengan trust-public. Semangat untuk menjaga supremasi sipil di negeri ini . Amanat reformasi 1998 tentang dihapusnya dwi-fungsi ABRI itu tidak boleh bangkit kembali.