Puadi: Tiga Putusan MK Dinilai Berpengaruh Besar pada Sistem Pemilu dan Demokrasi
|
Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Puadi, menyampaikan pandangannya terkait sejumlah putusan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang menurutnya memiliki potensi besar dalam memengaruhi arah dan bentuk desain demokrasi elektoral di Indonesia ke depan. Dalam kurun waktu antara tahun 2023 hingga 2025, MK telah mengeluarkan tiga putusan penting yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemilu, yakni Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 mengenai sistem pemilu proporsional terbuka, Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai keserentakan pelaksanaan pemilu legislatif, pemilu presiden, serta pilkada, dan Putusan Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang menyangkut diskualifikasi kolektif pasangan calon dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Barito Utara.
Puadi menilai bahwa meskipun masing-masing putusan tersebut membawa implikasi positif terhadap demokrasi, di sisi lain terdapat pula sejumlah catatan kritis yang harus dicermati secara seksama. Sebagai contoh, dalam Putusan Nomor 114, MK menolak gugatan yang mengusulkan agar sistem pemilu kembali menggunakan mekanisme proporsional tertutup. Menurut Puadi, keputusan untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka mengandung nilai demokratis yang signifikan karena memperkuat hak rakyat dalam berpartisipasi secara langsung untuk memilih calon legislatif yang dianggap mewakili aspirasi mereka. Selain itu, sistem terbuka ini juga mempererat hubungan antara para wakil rakyat yang terpilih dengan konstituen di daerah pemilihan mereka.
Namun demikian, Puadi juga menggarisbawahi bahwa sistem proporsional terbuka ini menimbulkan konsekuensi tersendiri. Ia menekankan perlunya penguatan sistem pengawasan pemilu, peningkatan standar etika kampanye, serta transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik. Dalam praktiknya, sistem ini rawan terhadap praktik politik uang dan berpotensi menciptakan persaingan internal yang tidak sehat di dalam tubuh partai politik.
Dalam forum Jaringan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan pada Rabu, 16 Juli 2025 di kantor Bawaslu Provinsi DKI Jakarta, dengan tema "Transformasi Sistem Pemilu Indonesia: Memahami Putusan MK dan Implikasinya bagi Demokrasi", Puadi menguraikan lebih lanjut soal dampak dari Putusan MK Nomor 135. Putusan ini menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada yang dilakukan secara tidak serentak sepenuhnya bertentangan dengan asas keserentakan sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih lanjut, Puadi mengungkapkan fokusnya mengenai kesiapan teknis penyelenggara pemilu dalam menghadapi perubahan tersebut, khususnya menyangkut aspek logistik, alokasi anggaran, serta kesiapan sumber daya manusia (SDM). Ia mempertanyakan kemampuan lembaga penyelenggara untuk menangani beban kerja yang meningkat jika pemilu dan pilkada benar-benar tidak dilaksanakan secara serentak. Perubahan ini, menurutnya, juga bisa membawa tantangan tambahan dalam menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Bawaslu, kata Puadi, akan berupaya mengkaji lebih dalam dan menyusun strategi pengawasan yang relevan agar tetap dapat melaksanakan fungsinya secara efektif dalam kondisi yang berubah ini.
Terkait dengan Putusan MK Nomor 313 yang menetapkan diskualifikasi terhadap seluruh pasangan calon dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Barito Utara, Puadi menyebutkan bahwa putusan tersebut merupakan sebuah langkah progresif dari MK dalam rangka memperkuat integritas penyelenggaraan pemilu. Ia menilai bahwa keputusan ini menjadi tonggak penting yang memberikan preseden dalam hal pertanggungjawaban kolektif atas pelanggaran berat dalam proses pemilihan, serta menyampaikan pesan tegas bahwa pelanggaran serius tidak hanya menimpa individu tertentu, tetapi dapat berdampak terhadap keseluruhan proses kontestasi.
Menanggapi ketiga putusan tersebut secara keseluruhan, Puadi menyampaikan harapannya agar para penyelenggara pemilu dapat dengan cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan tahapan dan jadwal pemilu, memperkuat kelembagaan, serta meningkatkan upaya pendidikan pemilih dan literasi demokrasi kepada masyarakat luas. Ia juga mendorong partai politik untuk tidak sekadar melakukan rekrutmen calon legislatif, tetapi juga memastikan adanya proses kaderisasi yang kuat, khususnya dalam sistem pemilu terbuka, demi melahirkan calon wakil rakyat yang berkualitas.
Lebih jauh lagi, Puadi menegaskan bahwa transformasi sistem pemilu jangan dipahami semata sebagai perubahan teknis administratif, melainkan sebagai sebuah ikhtiar serius dalam memperkuat integritas demokrasi elektoral. Dalam pandangannya, putusan-putusan MK merupakan capaian penting yang harus segera ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang melalui kebijakan legislatif yang adaptif, serta melalui upaya penguatan institusi penyelenggara pemilu.
“Demokrasi yang sehat dan berfungsi optimal menuntut adanya regulasi yang adil, sistem pengawasan yang tangguh, dan masyarakat yang memiliki kesadaran dan pemahaman terhadap demokrasi. Mahkamah Konstitusi, melalui putusan-putusan terbarunya, tidak sekadar menafsirkan norma hukum, tetapi secara nyata sedang menuliskan ulang arah dan wajah demokrasi kita ke depan,” pungkas Puadi dalam forum tersebut.
Sumber: Website Bawaslu RI
Penulis: Bunga Putri N.