Lompat ke isi utama

Berita

Putusan MK 104: Bawaslu Berwenang Memutus Pelanggaran Administrasi Pilkada

Gedung Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Dok: Humas Bawaslu Kabupaten Bandung Barat.

Bandung Barat, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan Putusan Nomor 104/PUU-XXIII/2025 pada Rabu (30/7/2025), yang menegaskan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Melalui putusan ini, MK menyatakan bahwa hasil pengawasan yang dilakukan Bawaslu terhadap dugaan pelanggaran administrasi dalam Pilkada tidak lagi bersifat sekadar rekomendasi, melainkan harus dipahami sebagai putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Dalam putusannya, Mahkamah menyampaikan sejumlah pertimbangan utama yang menjadi dasar penguatan kewenangan Bawaslu:

  1. Perbedaan Penanganan antara Pemilu dan Pilkada
    MK menyoroti ketidakharmonisan kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pada dua rezim pemilihan. Jika dalam Pemilu Bawaslu berwenang memutus pelanggaran administratif secara langsung, maka dalam Pilkada kewenangan tersebut hanya bersifat memberikan rekomendasi, yang implementasinya sangat bergantung pada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini menimbulkan ketidaksesuaian dalam sistem penegakan hukum pemilu dan pilkada.

  2. Rekomendasi Harus Diartikan sebagai Putusan
    Mahkamah menafsirkan bahwa ketentuan dalam Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang menyebutkan Bawaslu memberikan “rekomendasi”, harus dimaknai sebagai “putusan” yang bersifat mengikat. Hal ini diperlukan untuk menjaga keselarasan antara kewenangan Bawaslu dan prinsip pemilu yang demokratis, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, frasa "memeriksa dan memutus" pada Pasal 140 ayat (1) UU yang sama juga harus ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan memutus pelanggaran administratif.

  3. Kepastian dan Kekuatan Hukum yang Setara
    Mahkamah menilai bahwa perlakuan terhadap pelanggaran administratif Pilkada yang hanya berupa rekomendasi menyebabkan proses penegakan hukum menjadi tidak optimal dan cenderung bersifat prosedural. Untuk menjamin integritas Pilkada, diperlukan kepastian hukum agar Bawaslu dapat menjalankan tugas pengawasannya secara efektif dan berwenang menyelesaikan pelanggaran administratif secara final.

  4. Penyelarasan Regulasi Pemilihan
    Menimbang bahwa struktur hukum kepemiluan kini tidak lagi membedakan secara substansial antara pemilu nasional dan Pilkada, MK mendorong pembentuk undang-undang untuk melakukan penyesuaian terhadap regulasi pemilu. Hal ini termasuk harmonisasi antara pengaturan pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden, dan pemilihan kepala daerah, serta penguatan peran dan kelembagaan penyelenggara pemilu, seperti Bawaslu dan KPU.

Implikasi terhadap Penyelenggaraan Pilkada

Putusan MK ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat kedudukan Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang memiliki kewenangan hukum dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi Pilkada. Dengan interpretasi baru terhadap istilah “rekomendasi”, Bawaslu kini dapat menjalankan fungsi yudikatif administratif yang setara dengan penegak hukum lainnya dalam sistem kepemiluan.

Putusan ini juga diharapkan menjadi landasan bagi revisi regulasi oleh pembentuk undang-undang agar pengawasan pemilu dan Pilkada dapat berjalan lebih efektif, profesional, dan berkeadilan.

Penulis dan Foto: Bunga Putri N.

Sumber: Media Sosial Bawaslu RI