Subyek Hukum "Setiap Orang" Untuk Legalitas Penindakan Pelanggaran
|
Oleh : Ai Wildani Sri Aidah, S. Pd.Ind,.S.H.,M.M.Pd
Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kab. Bandung Barat
Masa pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak perubahan pada tatanan kehidupan, termasuk pemilihan kepala daerah. Kodifikasi dua payung hukumnya sedang digiring menjadi regulasi, yaitu UU no.10 tahun 2016 dan UU no.7 tahun 2017 digabung dalam RUU Pemilu. Kampanye akan berganti metode, yang basanya lebih banyak tatap muka dialogis antara kontestan dan konstituen, mungkin akan lebih banyak kampanye digital melalui media sosial dan elektronik. Padahal biasanya kampanye model itulah yang dibatasi. Vote buying akan jauh terbuka secara verbal. Sementara pasal 523 ayat 2 UU no.7 tahun 2017 tidak menjangkau pemilih sebagai penerima suap, bahkan tak bisa pula menindak pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye sebagai pemberi suap.
Subjek hukum yang bisa ditindak memang hanyalah tiga kelompok itu saja yaitu pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye. Itupun harus ada pembuktian tertulis bahwa mereka tercatat terdaftar resmi di KPU sesuai tingkatannya. Barulah ancaman pidana penjara empat tahun dan denda Rp.48 juta bisa diduga berdasarkan pasal 523 ayat 2 tersebut. Ketentuan yang tidak dapat berdiri sendiri, karena secara sistematis terkait sistematis dengan rubrika kampanye pada pasal-pasal sebelumnya. Secara leksikal terkait erat dengan pasal 278 ayat 2 UU no7 tahun 2017 bahwa yang dimaksud itu adalah pelaksana dan/atau tim kampanye pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini tidak berlaku untuk pelaksana dan/atau tim kampanye pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Diskursus ini ditambah pelik dengan definisi peserta kampanye, yang juga harus dibuktikan sah.
Sudah nyata terjadi sebagai pengalaman hebat debat sengit akibat perbedaan pendapat dalam pembahasan Sentra Gakkumdu antara unsur Bawaslu, Polisi dan Jaksa untuk memutuskan suatu perbuatan suap atau vote buying atau money politics yang dilakukan warga biasa (bukan pelaksana, dan bukan tim kampanye). Padahal warga biasa simpatisan yang menyuap warga lainnya itu adalah termasuk definisi peserta pemilu, sebagaimana pasal 273 UU nomor 7 tahun 2017. Terminologi “setiap orang” di dalam RUU Pemilu itu memang sungguh suatu terobosan yang sangat diperlukan. Adanya perubahan tentang subjek hukum dengan terminologi “setiap orang” tersebut akan menjadi dasar penindakan yang tak terbantahkan bagi divisi penanganan pelanggaran dan Sentra Gakkumdu. Ketidakpuasan masyarakat akan tertangani. Keadilan pemilu mungkin akan tegak jika dasar hukumnya terpancang tegak di dalam perundang-undangan. Hal ini bersesuaian dengan azas legalitas Anselm Von Feuerbach yaitu “nulla delictum nulla poena sinepraevia lege poenali “ yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Azas legalitas pada Hukum Tata Negara dan Hukum Administasi Negara memang terikat ketentuan sebagai berikut :
- Asas yuridikitas (rechtmatingheid) , yaitu bahwa keputusan pemerintahan maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad)
- Asas legalitas (wetmatigheid) , yaitu bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suatu ketentuan undang-undang
- Asas diskresi (discretie, freies ermessen) , yaitu bahwa pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya” sehingga pejabat penguasa tersebut diberi kebebasan mengambil keputusan menurut pendapat sendiri selama tidak melanggar asas yuridiktas & legalitas.
a. Ada diskresi bebas (selama Undang-Undang hanya menentukan batas-batasnya), dan
b. Ada diskresi terikat (selama Undang-Undang menetapkan alterntif yang dapat dipilih)
Demikian harapan besar penegakan hukum yang tergantung pada terminologi “setiap orang”. Sebuah sisi positif RUU Pemilu, semoga.